Abbas
bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu
"Hai Nabi, katakanlah kepada
tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam
hatimu niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah
diambil darimu dan dia akan mengampuni kamu. Dan, Allah Maha Pemgampun lagi
Maha Penyayang". (Q.,s. al-Anfaal : 7)
Menurut beberapa orang ahli
tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abbas bin Abdul Muththalib,
Aqil bin Abdul Muththalib dan Naufal ibnu al-Harits.
Abbas bin Abdul
Muththalib radhiallahu 'anhu
Ia adalah paman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan
yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas
adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan
menyakitiku."
Di zaman Jahiliah, ia mengurus
kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya
ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pemah
menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai'at al-Aqabah menghadapi kaum
Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum
kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya,
Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang
mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak,
ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan
mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan,
maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan
Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya
tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam
karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ;
yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya
mirip benar dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke
negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma'bad, mati syahid
di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan
murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah,
tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
Para ahli sejarah berbeda
keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan
Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia
memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin
yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah
menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, "Kau
lebih baik tinggal di Mekah ".
Keterangan kedua ini dikuatkan
oleh keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku rnenjadi pembantu di
rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk
ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk
Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan
terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya."
Ia selalu menemani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan,
"Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya.
Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami
bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua mengenalnya?'
Kami menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas bin
Abdul Muththalib, pamannya?'
Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami
sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, 'Kalau
kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang
yang kalian cari!".
Kemudian, kami masuk ke
Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas radhiallahu 'anhu
mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah.
Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia berkata
"Wahai kaum
Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj
saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad.
Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya.
Ia dibela oleh orang orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham
dengan pikirannya demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak
tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan,
dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi
persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang
kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik
terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan mufakat dan sepakat
bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara itu ialah yang
jujur."
Kata-kata itu menunjukkan
pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan.
Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka.
Ia lalu berkata lagi, "Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana
kalian berperang menghadapi musuh?".
Abdullah bin Amru bin Haram
bangkit memberikan jawaban, "Percayalah bahwa kami adalah ahli
perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan
berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai
habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang
dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami".
Cerahlah wajah Abbas mendengarkan
keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu,
seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata
lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan. Apakah kalian mempunyai baju
besi?".
"Ya, lengkap," jawab
mereka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah,
mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan
berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam, tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar
berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak. Rasulullah
bersabda,
"Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang
terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa
di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah
dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena ia keluar
berperang karena terpaksa".
Keterangan Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum
mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin
Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, "Kami membunuh bapak kami, anak-anak
kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi
Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku ini!"
Kata-katanya itu terdengar oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul
Khaththab, "Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang mau menghantam wajah
paman Rasullullah dengan pedangnya!"
"Biarkanlah, ya
Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi
Allah, dia itu seorang munafik," ucap Umar.
Akan tetapi, Rasulullah tidak
membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawanya yang bersalah. Beliau
membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-amsing. Ternayta, Abu
hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang
perkataanya, "Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang
pernah kaku yucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut
olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!"
Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang
Yamamah.
Pada suatu hari, Abbas pergi
berhijarah ke Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda
pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.telah membemberikan sebidang tanah kepadanya
berdekatan dengan tempat kediamannya.
Di Madinah terjadi pertengkaran
antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang
itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi
berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang
itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata,
"Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara
kami!"
Ancaman mereka itu terdengar oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu beliau mengumpulkan kaum
muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah
Subhânahu wata'âla dan bersabda,
"Wahai para hadirin, tahukah kalian,
siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wata'âla?"
"Engkau, ya Rasulullah!"
jawab hadirin.
"Tahukah kalian bahwa Abbas
itu dariku dan aku darinya?
Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah
mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."
Kabilah orang itu datang
mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon
perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pernyataan Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radhiallâhu 'anhu.
tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa
yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."
Pada suatu hari, Abbas datang
menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan bermohon dengan penuh
harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi
pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang
yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa
orang, namun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak ingin mengangkat
pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas
pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh
pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik
daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata Abbas menerima dengan
senang hati pendapat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., tetapi malah Ali
bin Abi Thalib radhiallâhu 'anhu yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada
Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat
menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk meminta seperti yang dianjurkan
Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda
kepadanya ,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi
cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau
mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia
tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi,
tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Untuk yang ketiga kalinya,
pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati,
"Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah
aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya
sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu
kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!"
Sesudah Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu wata'âla dengan baik,
manyampaikan agamaNya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke
rahmatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian
atas kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah
pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan
Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu..
Tiap kali Khalifah hendak ke masjid
ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah
pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan
pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu
menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umat. Ia kembali pulang untuk mengganti
pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai
shalat, datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu
diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.."
Khalifah Umar menjawab, "Aku
mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang
diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan menaiki
pundakku."
Abbas menerima baik harapan Umar
untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Masjid Nabawi di Madinah kian hari
kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin
bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengna
membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada
disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah Muththalib. Apa
mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia akan menerima
harga ganti ruginya?
Khalifah Umar datang menemuinya
seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali
karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk
membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan
masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum.
Kalau kamar-akmar Ummuhatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli
dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau
kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid."
Abbas menjawab, "Aku tidak
mau."
Umar berkata; "Pilihlah satu
diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari
Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku
bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau
kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan
masjid mereka."
Abbas berkeras, "Aku tidak
mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubai bin
Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubai berkata, "Aku mendengar
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhânahu
wata'âla pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, 'Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah
tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud lalu merencanakan
pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang
Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi
ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan
paksa. Allah Subhânahu wata'âla lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud, aku
menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku
pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah
membangunnya!' Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku!' Allah
berfirman lagi, 'Siapa anakmu?""
Khafilah Umar tidak bisa lagi
menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin Ka'ab dan menggiringnya
ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau
menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum
muslimin!"
Ia membawanya ke tengah-tengah
halaqah yang diselenggarakan shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana
antara lain terdapat Abu Dzar radhiallâhu 'anhu.Umar lalu berkata kepada para
hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah diantara kalian yang
mendengarkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.berbicara tentang Baitul
Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat
orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar radhiallâhu 'anhu
menjawab' "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya,
saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya
juga mendengar!"
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu
lalu berkata kepada Abbas radhiallâhu 'anhu, "pergilah! Aku tidak akan
menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas radhiallâhu 'anhu berkata,
"Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan
untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi,
kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan
mengalah."
Memang Khalifah Umar radhiallâhu
'anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum
muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi,
apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan
menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan
Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan
kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang
dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar
berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk
menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum
muslimin.
Demikian tokoh-tokoh model
"sekolah Rasulullah" dan "sekolah Al-Qur'anul Karim" radhiallahu
'anhum ajma'in. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah
membawa panji Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan
peradaban umat manusia, yang mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali
peradaban antara agama kebenaran dan kebatilan.
Pada suatu hari dalam pemerintahan
Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang
berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang
melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada muslimin yang
berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa
kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan
supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar
seraya mengutrarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau
menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi
mereka."
Umar berakta, "Ini dia paman
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula,
ia pimpinan bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas
dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan
paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya
Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan paman Nabi kami dan
saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai
putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai
doanya dengan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla, "Ya Allah,
Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah
awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan
dan suburkanlah semua air susu".
Ya Allah, Engkau tidak mungkin
menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana
kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka
turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama
diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu
yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan
hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana
orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang
menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka
berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa dengan rahmat
karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."
Ternyata doanya itu langsung
diterima dan disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat turun dan
tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah
Subhânahu wata'âla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat
kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."
Abbas hidup terhormat, baik oleh
kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan
berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun
dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.!"
Sudah menjadi sunnatullah, setiap
permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian
pula dengan Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali
ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu 'alaihi wasallam dan
rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam
usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah wa
radhiallahu'anhu.
Sebab Turunya Ayat
Dalam Perang Badar yang berkecamuk
antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas berhasil ditawan oleh Abul Yusr,
Ka'ab bin Amru, yang menurut Ahli sejarah kedua tangannya kurus dan
perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya Abal Yusr, bagaimana
kau bisa menawan Abbas?"
"Ya Rasulullah, aku dibantu
oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia
mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu)," jawab Abul Yusr.
"Kau dibantu oleh seorang
malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika Abbas jatuh sebagai
tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad
kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam peperangan
ini?"
"Allah memuliakan dan
menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
Abbas diborgol dan dikumpulkan
bersama tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia
merintih kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa
orang shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah,
sudah jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku mendengar riuntihan
Abbas,"
jawab Nabi.
Orang itu lalu pergi melonggarkan
ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.bertanya lagi, "Mengapa
sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?"
"Aku longgarkan ikatannya, ya
Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan
dihadapkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Akhirnya, sampai
giliran Abbas.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi
Thalib, Naufal bin al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam
karena engkau seorang kaya."
"Ya Rasulullah, saya ini
seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap
Abbas.
"Allah saja yang Maha Tahu
dengan keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu,
namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu."
'Aku tidak mempunyai uang, ya
Rasulullah."
"Mana uang yang kau simpan
pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar ikut berperang,
lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu
dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah, dan Qatsam.'?" tanya Rasulullah.
"Dari mana kau tahu ini
padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya
Abbas keheranan.
"Allah Subhânahu wata'âla
Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Pada saat itu, turunlah firman
Allah Subhânahu wata'âla.
"Hai Nabi, katakanlah kepada
tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada kebaikan
dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang
telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)
Abbas berkomentar, "Allah
berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang
diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang
menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa
merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota
Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi, darimana ia memiliki
harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal
edar yang diperdagangkan?
Ibnu Sa'ad dalam bukunya, ath-Thabaqat
al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Harta benda sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi
menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang
kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid
dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi-bagikan hartra
itu seolah-olah tanpa perhitungan dan pertimbangan, masing-masing diberikan
segenggam.
Abbas datang, lalu berkata kepada
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan
tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam perang Badar. Aqil tidak punya
uang penggantinya. Berikan aku dari uang ini!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta
itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"
Ia lalu pergi dengan mengambil
seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah
ditepati dan yang lain aku belum tahu!"
Renungan
Abas bin Abdul Muththalib
radhiallâhu 'anhu, paman Rasululah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan saudara
kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh shahabat yang ikut mengibarkan
panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak terjangnya dicatat sejarah
dengan tinta emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang
penasihat dan perunding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu,
membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang
hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia memberikan gambaran kepada
mereka akan bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup
mereka jika menerima Muhammad Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan
mulus kecuali kalau mereka terpaksa.
Pada akhir perundingan, sesudah ia
yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang
berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya, barulah ia bangkit
mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan tangan
wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai,
disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wata'ala mudah-mudahan
persekutuannya yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan
hidayah-Nya.
Ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana.
Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Makkah saja
dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mustadh'afin di Mekah yang belum bisa
hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh kepada perintah
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di Mekkah bersama
kelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan
kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik
kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada permulaan Islam, Abbas banyak
melunasi utan kaum muslimin yang fakir misjkin. Pada zaman kita sekarang ini,
alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas modern yang sudi menyelamatkan umat
agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri
tegak membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi tawanan dalam Perang
Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya
dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.
Tawanan lain harus, membayar uang
tebusan, Abbas pun harus membayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah
Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau
kenalan. Tolak ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal
salehnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar
ibnul Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran Romawi dan Persia
itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah diberitahukan bahwa
pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah sendiri. Umar
menggigil ketakutan; apakah ia akan menyingkirkan apa yang diletakkan
Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah? Umar resah
dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk kelancangannya itu.
Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk mengembalikan
pemasangan pancuran.
Tiba giliran Umar untuk memperluas
masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagai panglima Angkatan Perang
Islam, ia mempunyai kekuatan penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari
Baitul mal, demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan
hukum agama.
Sikap Umar untuk menggusur rumah
Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia
tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerima
ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum
muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan
kekuasaannya. (Senin, 16/7/2001=24/4/1422)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan koment tapi jangan mengandung SARA dan porno ya