Senin, 30 Januari 2012

Apa Yang Kita Cari Di Dunia Ini?

Apa Yang Kita Cari Di Dunia Ini?
Oleh : Agustiar Nur Akbar
Dalam kajian para filosofi manusia menjadi
salah satu obyek kajian tersendiri, filsafat
manusia. Diantara yang dibahas adalah tujuan
hidup manusia. Sebut saja Aristoteles, seorang
filosofi yang sudah tak asing lagi, dari Yunani.
Konsep tujuan hidup manusia menurut
Aristoteles terkenal dalam karyanya Ethika
Nicomachea. Yaitu, “Tujuan hidup manusia
adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang
sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi
pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk
akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang
lain. Hidup manusia akan semakin bermutu
manakala semakin dapat mencapai apa yang
menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai
tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya
secara penuh, sehingga mencapai mutu yang
terbuka bagi dirinya”.
Secara sederhana pernyataan filsuf legendaris
tersebut sejalan dengan fitrah manusia. Dimana
manusia lebih cenderung (baca mencari)
kebahagiaan dan cenderung menghindari
kesedihan atau kesusahaan. Jika memang
mencari kebahagiaan adalah fitrah dan tujuan
hidup manusia. Lantas pertanyaannya
kebahagiaan seperti apa? Kemudian apakah
semata-mata hanya mencari kebahagiaan?
Banyak orang menafsirkan dan memaknai
kebahagiaan disini. Salah satu yang sering
dianggap dapat mewujudkan kebahagiaan
secara mutlak adalah jika mendapatkan
kekuasaan, harta, dan wanita. Karena itu tak
jarang kita melihat sekian banyak orang
berlomba-lomba mendapatkan keitga hal yang
mendasar tersebut. Pada akhirnya terjebak
dalam gaya hidup hedonis bahkan menjadi
hamba dunia.
Islam mempunyai konsep yang lebih sempurna
dan jelas tentang tujuan hidup manusia ini. Allah
swt berfirman dalam Al Quran “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah- Ku." (Adz Dzariaat [51] :
56).
Ini adalah hal yang paling mendasar dalam
konsep Islam tentang tujuan hidup manusia.
Tidak lain manusia diciptakan untuk beribadah
kepada Allah swt. Sebagai Sang Pencipta maka
Allah mempunyai hak yang absolut terhadap
hambanya.
Menurut Ibnu Abas dalam tafsir Ibnu Katsir,
kalimat “Liya’buduun ” dalam ayat tersebut
bermakna “ menghinakan diri kepada Allah dan
mengagungkan- Nya”. Dengan begitu ibadah
disini mempunyai cakupan arti yang luas. Tidak
hanya sebatas ibadah yang kita kenal. Yaitu,
shalat, zakat, shaum, dan haji. Secara
sederhana dapat kita pahami, segala sesuatu
yang diniatkan lillahi ta’la dan tidak melanggar
syariat maka ia bernilai ibadah, inysa Allah.
Yang sangat menarik di sini ternyata ibadah
tidak hanya bekerja secara sepihak. Akan tetapi
mempunyai timbal balik bagi manusia itu
sendiri. Ibadah bukan hanya semata-mata
kewajiban kita sebagai seorang hamba kepada
Sang Penciptanya. Ibadah mempunyai efek
psikis yang menjadi tujuan hidup dalam
kacamata filsafat, yaitu kebahagiaan.
Jika kita benar-benar telah ikhlas dan benar-
benar memahami hakikat ibadah itu sendiri. Kita
akan merasakan kebahagiaan setiap kali kita
selesai menunaikan ibadah. Artinya ibadah
apapun itu bukan semata-mata gerak tubuh
dalam ritual khusus. Juga bukan semata
menunaikan kewajiban. Rasulullah saw
bersabda, “Berdirilah Bilal, maka nyamankan
kami dengan sholat” (H.R Abu Dawud). Dalam
riwayat lain “Wahai Bilal dirikanlah sholat
(maksudnya kumandangkanlah adzhan untuk
panggilan sholat wajib) nyamankan kami
dengannya (dengan shalat). "
Dari hadis tersebut jelas menggambarkan
bahwasanya sholat (ibadah ) membawa
kenyamanan bagi yang menunaikannya. Bahkan
ketika ia meniggalkannya maka ia akan merasa
sedih. Sebaliknya ketika ia menunaikannya ia
akan merasa bahagia. Wallahu a’lam bis
showab.
Penulis adalah mahasiswa Indonesia yang
kini tengah menimba ilmu di Kairo, Mesir.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan koment tapi jangan mengandung SARA dan porno ya